Untuk menyelami kenikmatan dalam shalat, yang terpenting
bukan bagaimana cara kita bisa menangis sesunggukan, melainkan bagaimana
caranya agar dengan shalat kita bisa merombak semua perilaku kita ssekaligus
dapat mewujudkan dua transformasi al-kasyf, sehingga kehidupan kita jauh dari
sikap yang tidak terpuji. Dengan kata lain, semoga pelaksaan shalat Dhuha yang
rutin kita kerjakan ini dapat menahan hawa nafsu, dan dapat pula mencetak
pribadi yang paripurna, stabil, dan tidak timpang dalam memaknai kehidupan.
Bagimanakah cara mewujudkannya?
Pertama, kita harus dapat menikmati shalat. Jika seseorang
belum dapat menikmati shalat, maka dapat dimungkinkan shalat yang dua kerjakan
belum masuk dalam tingkatan sempurna, atau lebih tegasnya, shalatnya masih
berupa gerakan-gerakan tubuh yang tidak mempunyai makna spiritual. Dalam hal
ini Rasulullah bersada, “Pada hari kiamat kelak, ada seseorang yang membawa
shalatnya kepada Allah Swt. Kemudian, dia mempersembahkan shalatnya kepada-Nya.
Tiba-tiba, shalatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian yang kumal,
kemudian dibanting ke wajahnya. Allah tidak menerima shalatnya.” Banyak sekalai
nilai shalat yang dibanting ke wajahnya. Sebab, dia melaksanakan shalat bukan
karena Allah melainkan karena kehendak lain. Bahkan, ada orang yang celaka
karena shalatnya. Mari kita renungkan firman Allah berikut:
Baikalah, untuk mendasari beberapa tanda-tanda shalat
diterima atau tidak, mari kita lihat firman Allah dalam hadits Qudsi berikut
ini :
“Sesungguhnya Aku hanya mau menerima shalat orang-orang yang
merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa nafsu karena
Aku, mengisi waktu sebagian siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, melazimkan
hatinya untuk takut kepada-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, memberi makan
kepada orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang yang telanjang,
menyayangi orang yang terkena musibah, serta memberikan perlindungan kepada
orang yang terasing. Kelak, cahaya orang itu akan bersinar seperti cahaya
matahari. Aku akan memeberikan cahaya ketika dia dalam kegelapan. Aku akan
memberikan pengetahuan ketika dia tidak tahu. Aku akan menyuruh malaikat untuk
menjaganya. Saat dia berdoa kepada-Ku, Aku akan segera menjawabnya. Kalau dia
meminta kepada-Ku, Aku akan segera memenuhi permintaannya. Perumpamaannya di
hadapan-Ku seperti perumpamaan firdaus.” (Kalimatullah al’Ulya, hlm.264)
Melalui hadits Qudsi ini, dapat kita simpulkan bahwa
tana-tanda shalat yang bisa dikatakan sempurna akan membawa pengaruh besar
kepada kepribadian kita, seperti merendahkan diri di hadapan Allah, mampu
menahan nafsu, banyak berdzikir, dan solidaritas sosial. Dari keempat tanda
ini, apabila mushalli dapat meresapi sekaligus mewujdukannya dalam kehidupannya
sehari-hari, maka secara total shalatnya dapat diterima tanpa cela, dan
mushalli dapat laurt dengan satu kenikamatan yang sempurna. Tanda yang pertama
adalah merendahkan diri di hadapan Allah. Jika mushalli dapat merendahkan diri
dengan serendah-rendahnya di hadapan Allah, maka dia bisa larut dan tenggelam
dalam kenikmatan shalat sebagaimana dirinya tengah meninggalkan planet bumi. Dalam
sebuah riwayat yang dijelaskan oleh imam Al-Ghazali dalam bab shalat, yang
mengisahkan bahwa cucu Rasulullah Saw. yang bernama Imam Ali Zainal Abidin
terlihat sangat pucat seusai mengambil air wudhu. Salah seorang yang melihatnya
bertanya, “Apa yang terjadi dengan dirimu, wahai Cucu Rasulullah?” Imam Ali
Zainal Abidin menjawab, “Engkau tidak mengetahui di hadapan siapa sebentar lagi
aku akan berdiri di hadapan Rabbul ‘aalamin, Tuhan penguasa semesta, penguasa
kehidupan, dan penguasa segala yang dikuasai-Nya. Beliau gemetar sebelum
menghadap, hatinya gemuruh tidak menentu. Saking gemetar dan gemuruhnya, baru
mengambil air wudhu saja, wajah Ali Zainal Abidin sudah terlihat pucat pasi.
Inilah satu kenikmatan dalam shalat yang sungguh sulit unruk diurai dengan
seribu kalimat sekali pun.
Tanda yang kedua adalah sanggup menahan hawa nafsu. Orang yang
sanggup menahan hawa nafsunya, kelak di hari kiamat, kata Rasulullah, akan
dimuliakan oleh Allah dan dilindungi sebagai orang-orang yang penting dan
orang-orang yang akan mendapatkan rahmat.
Tanda yang ketiga adalah memperbanyak dzikir kepada Allah. Orang
yang selalu mengisi waktu siang dan malamnya untuk berdzikir kepada Allah
termasuk orang yang mampu menikmati shalatnya. Perlu diketahui, yang saya
maksud bukan memperbanyak amalannya, tetapi memperbanyak dzikir kepada Allah. Lain
dengan orang beramal, hal ini sebagaimana dalam ayat al-Qur’an yang mengatkan, “... Agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang
lebih baik amalnya.”
Allah akan menguji manusia, siapa yang paling baik amalnya,
bukan siapa yang paling banyak amalnya. Dengan memperbnayak berdikir kepada
Allah, maka dia akan meluangkan dirinya masuk dalam citra hamba yang selalu
ingat kepada kebesaran-Nya.
Terakhir, tanda yang keempat adalah solidaritas sosial. Solidaritas
adalah sikap atau perasaan yang senantiasa ingin menoling tatkala meihat
penderitaan orang lain. Ketika kita sanggup merasakan pedih dan menangis saat
melihat penderitaan orang lain, kemudian kita berusaha menyumbangkan sebagian
harta yang kita miliki unruk meringankan beban mereka, maka kita termasuk
golongan yang disebut dalam hadits Nabi berikut, “ Orang yang dermawan dekat
dengan Allah, manusia, dan surga. Sementara orang yang bakhil jauh dengan Allah
Swt. dan manusia, serta dekat dengan neraka.” Berkaitan dengan ini, dalam
hadits Qudsi, Allah berfirman, “Aku haramkan surga kepada tiga orang; orang
yang bakhil; orang yang suka mencaaci maki; dan orang yang suka mengadu domba,
memecah belah umat Islam.”