Pages

Monday, January 7, 2019

Contoh Ringkasan Drama, Novel, Dan Cerpen

Bahasa Indonesia merupakan materi terpenting dalam pendidikan. Dan di dalamnya terdapat pengertian atau materi tentang novel, drrama, dan cerpen. Mungkin kita sering diminta atau disuruh untuk membuat salah satu dari 3 materi bacaan yang diterangkan atau tertera di buku. Nah, pada kali saya akan menjelaskan dan memberikan beberapa contoh ringkasan novel, drama, dan cerpen. Sebagai berikut.

Novel
Pengertian Novel
 Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Penulis novel disebut novelis.
Genre novel digambarkan memiliki "sejarah yang berkelanjutan dan komprehensif selama sekitar dua ribu tahun”.  Pandangan ini melihat novel berawal dari Yunani dan Romawi Klasik, abad pertengahan, awal roman modern, dan tradisi novella. Novella adalah suatu istilah dalam bahasa Italia untuk menggambarkan cerita singkat, yang dijadikan istilah dalam bahasa Inggris saat ini sejak abad ke-18. Ian Watt, sejarawan sastra Inggris, menuliskan dalam bukunya The Rise of The Novel (1957) bahwa novel pertama muncul pada awal abad ke-18. Miguel de Cervantes, penulis Don Quixote, sering disebut sebagai novelis Eropa terkemuka pertama di era modern. Bagian pertama dari Don Quixote diterbitkan tahun 1605.
Contoh :
Bumi Manusia "Sebuah Jendela ke Masa Lalu" by Pramoedya Ananta Toer

Title: Bumi Manusia (The Earth of Mankind)
Author: Pramoedya Ananta Toer
Publisher: Lentera Dipantara
Published: 2005 (first published 1975)
Pages: 535p
ISBN: 9789799731234
Borrowed from HelvrySinaga
Namanya minke (baca: Mingke), tokoh yang digunakan oleh Pram untuk menggambarkan Indonesia di akhir 1800 hingga awal 1900 yang oleh sejarah kita tercatat sebagai masa awal Kebangkitan National. Diceritakan dengan latar Surabaya dan Wonokromo serta beberapa kota lain di Provinsi yang kita kenal sekarang dengan nama Jawa Timur. Zaman yang digambarkan Pram dalam buku ini, mungkin sekilas pernah kita pelajari lewat pelajaran sejarah di sekolah, namun karena metode yang saya temukan hanyalah, mencatat buku sampai habis, maka hanya sedikit ingatan yang tersisa dari halaman-halaman buku yang entah dimana sekarang. Kisah Minke bermula di tahun 1898, saat itu dia adalah siswa H.B.S, sebuah sekolah Belanda. Ia mengaku pribumi, namun semua orang tahu, untuk masuk ke H.B.S, kalau bukan totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), pastilah si pribumi dijamin oleh sebuah kedudukan yang cukup tinggi. Minke tak pernah mengakui jaminan itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke, tanpa nama keluarga, seorang pribumi.

Sebagai seorang pribumi, Minke membaca dan menulis dalam bahasa Belanda sebanding bahkan lebih baik dari mereka yang berdarah totok. Lalu suatu ketika, atas ajakan teman sekelasnya, Minke berkunjung ke sebuah rumah mewah, jenis rumah yang tak pernah dimasukinya dan yang ia yakini adalah milik orang Belanda. Kunjungannya itu mengenalkannya pada  Annelies, seorang gadis yang digambarkan Pram menandingi kecantikan bidadari yang turun dari kayangan. Minke pun jatuh cinta. Seakan nasib berpihak padanya, Ibu gadis itu, yang dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh seperti mendukung keberadaannya di rumah itu, mendorong Annelies untuk menemani Minke mengelilingi rumah mereka yang berujung pada semakin terperosoknya Minke dalam kekaguman akan kecantikan Annelies.

Sebutan Nyai, pada masa kolonial Belanda berarti gundik, simpanan orang Eropa, tidak dinikahi secara resmi, tetapi tinggal serumah dan bahkan melahirkan anak-anak berdarah campuran. Posisi Nyai ini dianggap lebih beruntung dari perempuan pribumi lainnya secara ekonomi, tetapi secara moral sangat direndahkan. Begitulah image Nyai Ontosoroh dimata orang. Ia tinggal bersama Robert Mellena dan Annelies, anak-anak hasil hubungannya dengan Herman Mellena. Nyai memimpin rumahnya sendiri, karena Herman Mellena jarang pulang, Ia mempertahankan bisnisnya dengan kepandaian ala Eropa. Nyai Ontosoroh memang berdarah Pribumi, tetapi tutur kata, budaya, pengetahuan dan kecakapannya sebanding dengan wanita Eropa yang terpelajar. Dalam sekali kunjungan, Nyai Ontosoroh menilai Minke sebagai anak muda yang baik dan bisa diandalkan, Ia pun memaksa Minke tinggal bersama mereka. Demikianlah Minke pun masuk ke dalam lingkungan Nyai Ontosoroh dan Annelies.


Drama
Pengertian Drama
Drama merupakan genre (jenis) karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak. Drama menggambarkan realita kehidupan, watak, serta tingkah laku manusia melalui peran dan dialog yang dipentaskan. Kisah dan cerita dalam drama memuat konflik dan emosi yang secara khusus ditujukan untuk pementasan teater. Naskah drama dibuat sedemikian rupa sehingga nantinya dapat dipentaskan untuk dapat dinikmati oleh penonton. Drama memerlukan kualitas komunikasi, situasi dan aksi. Kualitas tersebut dapat dilihat dari bagaimana sebuah konflik atau masalah dapat disajikan secara utuh dan dalam pada sebuah pementasan drama.
Contoh Drama
“ PETANG di TAMAN ”
K a r y a                                   : Iwan Simatupang
Para Pemain
Orang Tua, OT             :
Lelaki Separuh Baya, LSB       :
Penjual Balon, PB                    :
Wanita, W                                :
Pemuda, Pa                             :
Pemudi, Pi                               :

Berlaku        :    Di sebuah taman, dalam jangka waktu kurang lebih                 satu jam, terus menerus.
Lelaki              Mau hujan.

Orang Tua        Apa ?

Lelaki              Hari mau hujan. Langit mendung.

Orang Tua        Ini musim hujan ?

Lelaki              Bukan. Musim kemarau.

Orang Tua        Dimusim kemarau, hujan tak turun.

Lelaki              Kata siapa ?

BUNYI GURUH

Orang Tua        Ini bulan apa ?

Lelaki              Entah.

Orang Tua        Kalau begitu saya benar. Ini musim hujan.

Lelaki              Bulan apa kini rupanya ?

Orang Tua        Entah.

Lelaki              Kalau begitu, saya benar, ini musin kemarau.

Orang Tua        Salah seorang dari kita mesti benar.

Lelaki              Kalau begitu, baiklah saya kalah. Ini musim hujan.

Orang Tua        Tidak, tidak !  Yang lebih tua mesti tahu diri, dan mengalah. Ini musim kemarau.

BUNYI GURUH

Orang Tua        Kita sama-sama kalah.

Lelaki              Maksudmu, bukan musim hujan, dan bukan pula musim kemarau ?

Orang Tua        Habis mau apa lagi ?

Lelaki              Beginilah, kalau kita terlalu gila hormat.

Orang Tua        Maumu bagaimana ?

Lelaki              Ah, kita boleh lebih kasar sedikit.

Orang Tua        Lantas.

Lelaki              Akan lebih jelas, musim apa sebenarnya kini.

Orang Tua        Dan kalau sudah bertambah jelas ?

Lelaki              (DIAM)

Orang Tua        (MERENUNG)  Dan kalau segala-galanya sudah ber-tambah jelas, maka kitapun sudah saling bengkak-bengkak, karena barusan saja telah cakar-cakaran. Dan siapa tahu, salah seorang dari kita tewas pula dalam cakar-cakaran itu. Atau keduanya kita. Dan ini semua, hanya oleh karena kita telah mencoba meng-ambil sikap yang agak kasar terhadap sesama kita (TIBA-TIBA MARAH) Bah ! Persetan dengan segala musim! Dengan segala musim !

BUNYI GURUH. TAK BERAPA LAMA MASUK PENJUAL BALON, BALON-BALONYA BERANEKA WARNA.

Orang Tua        (KEPADA PB)  Silahkan duduk.

Penj. Balon      (BIMBANG, MASIH SAJA BERDIRI)

Orang Tua        Ayo, silahkan duduk ! (MENEPI DI BANGKU)

Lelaki              Tentu saja dia menjadi ragu-ragu bapak buat.

Orang Tua        Kenapa ?

Lelaki              Pakai silahkan segala !  Ini kan taman ? (TIBA-TIBA MARAH) Dia duduk, kalau dia mau duduk. Dan tidak duduk kalau  dia memang tidak mau duduk. Habis perkara !  Bah! (MELIHAT DENGAN GERAM KEPA-DA PB)

Penj. Balon      (DUDUK)

Lelaki              (MASIH MARAH) Mengapa kau duduk ?

Penj. Balon      Eh… karena saya mau duduk.
  


Cerpen
Pengertian Cerpen
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis. Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.
Contoh Cerpen
Di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon


DI PASSILIRAN2 ini, kendati begitu ringkih, tubuh Indo3tidak pernah menolak memeluk anak-anaknya. Di sini, di dalam tubuhnya—bertahun-tahun kami menyusu getah. Menghela usia yang tak lama. Perlahan membiarkan tubuh kami lumat oleh waktu—menyatu dengan tubuh Indo. Lalu kami akan berganti menjadi ibu—makam bagi bayi-bayi yang meninggal di Toraja. Bayi yang belum tumbuh giginya. Sebelum akhirnya kami ke surga.
Beberapa hari yang lalu, kau meninggal—entah sebab apa. Kulihat kerabatmu menegakkan eran4 di tubuh Indo untuk mereka panjati. Sudah kuduga, kau keturunan tokapua5, makammu harus diletakkan di tempat tinggi. Padahal kau, aku, dan anak-anak Indo yang lain, kelak di surga yang sama. 
Pagi-pagi sekali, kau berdiri di ambang bilik—mengetuk pintu ijukku yang rontok sebab bertahun-tahun tak diganti.
”Boleh masuk?”
Aku mengangguk, takut salah bicara dan kau akan murka. Bagi tomakaka’6 sepertiku, tak ada yang lebih hina dari salah bertutur kepadamu.
”Maaf,” bukamu, ”sudah seminggu saya di sini, tapi saya sepertinya masih sangat asing.”
”Saya dan anak-anak Indo yang lain juga minta maaf, kau tahulah kami ini hanya tomakaka, bahkan ada tobuda7, tak seberapa nyali kami untuk melancangi kaum junjungan sepertimu.”
Air matamu jatuh, luruh satu demi satu. Apa yang salah dariku, atau darimu, Runduma? Iya, kutahu namamu dari Indo, malam setelah kau makam di tubuhnya, Indo menerakan segala perihal kau, mesti tak jelas dan tentu saja samar-samar. Kau membawa banyak luka dari dunia?
”Di dunia, saya junjunganmu. Tapi di sini beda…,” kau menggantung, wajahmu kian rusuh, adakah yang kisruh di pikiranmu? Kemudian, tangisanmu keras, bertambah deras buyar air matamu.
”Lola Toding?”
Aku tergagau. Kau tahu namaku? Ah ya, pasti Indo yang memberi tahu. Kau duduk geming—wajahmu tampak ragu.
”Ceritalah!” terkaku, dan aku yakin kau ingin menerakan sesuatu.
”Jangan sampai yang lain tahu, kau bisa menjaga rahasia, kan?”
Aku mengangguk meyakinkanmu. Kau menimpalkan senyuman lantas memulai kisahmu, dengan dada yang kelihatan sesak. Koyak.
Tongkonan8 tampak gegap malam itu. Suara-suara riuh. Wajah-wajah penuh peluh. Orang-orang berlibat bicara. Sesaat situasi menegang ketika seorang lelaki paruh baya memegang leher baju pemuda yang wajahnya kusut.
”Pemuda kusut itu ambe9ku.” Kausela ceritamu sendiri. Aku mengangguk, memberimu isyarat melanjutkan cerita.
Ambemu diam dalam simpuhnya. Ia tertssunduk lesu. Matanya berkaca-kaca seperti hendak marah namun tak sanggup.
”Dia sudah menyalahi pemali mappangngan buni10. Ia berzinah,” geram lelaki paruh baya itu. Dia kakekmu, Runduma? Betul. Kau mengangguk.
Ambe dan indomu pacaran. Bukan lantaran mereka saling mencintai sehingga adat tak adil padanya. Bukan. Seperti yang kauterakan; orangtuamu itu kedapatan saling tindih di semak belakang tongkonan sebelum resmi menikah. Untung yang menemukan mereka kerabatmu juga sehingga tak ia sebar kabarnya ke penjuru kampung.
Pagi mulai beranjak menjejak siang. Kutahu itu dari getah putih yang mulai tak deras mengucur dari tubuh Indo. Ceritamu belum selesai.
”Besok saya lanjutkan, Toding,” cetusmu.
”Kau janji?”
”Pasti saya cerita!”
”Janji jangan panggil Toding, itu nama lelaki, nama ayahku. Lola saja,” gelakku.
Kau tersenyum, tampak geli mendengarku.
Awan Agustus meriung di langit Toraja. Derau angin merontokkan rambut-rambut Indo yang kecoklatan. Aku duduk di ambang bilik, melempar tatap sejauh mungkin. Sebentar lagi, mungkin jelang beberapa hari Toraja akan riuh. Kudengar kabar, keluarga Allo Dopang akan mengadakan rambu solo11 untuk mayat tanggungannya yang masih sakit dalam tongkonan. Ingin rasanya aku mengajakmu ke sana. Paling tidak, di sana kita akan melepas rindu pada sanak kerabat. Bukankah, bagi kita anak-anak Indo, surga kecil adalah senyuman kerabat. Atau kau ingin bertemu orangtuamu? Ikutlah denganku, Runduma, aku yakin acaranya pasti meriah. Akan ada puluhan kerbau yang dipotong, babi juga pasti banyak.
”Toding,” tegurmu melamurkan lamunku. Aku berbalik badan. Menatapmu tajam.
”Eh, maaf, maksud saya, Lola,” tambahmu lekas.
”Ada apa? Mau melanjutkan yang tak sampai waktu itu?”
”Punya waktu?”
”Silakan,” timpalku tanpa menjawab basa-basi mu.
Ambemu tokapua, sama seperti indomu, tak ayal, rampanan kapa12 harus dihelat mewah di tongkonan mereka. Tak boleh tidak. Kalau lancang menghindar, tulah akan menimpa. Katamu, kematianmu berawal dari sana. Kendatipun bukan pokok perkara, pernikahan mewah orangtuamu yang membuatmu mati sebelum sempat mengecapi dunia lebih lama. Sama sepertiku. Seperti anak-anak Indo yang lain.
”Pernikahan mereka lancar, hingga saya lahir dan berusia lima bulan. Semuanya berakhir begitu saja.” Kau tersedu. Tidak dapat melanjutkan kalimatmu. Lelaki dapat koyak juga, batinku. Tak sadar, kini kau telah merasuk dalam pelukanku.
Malam itu, malam terakhirmu di dunia. Kau mengembuskan napas penghabisan di tangan kedua orangtuamu. Mereka tak pernah akur setelah rahasia pernikahannya terbongkar. Ambemu menanggung borok utang. Sebagai kaum bangsawan, ambemu wajib membayar dengan dua belas kerbau dewasa untuk menyunting indomu. Jadilah ia memungut uang di kiri-kanan, tentu dengan bunga yang tinggi. Setelah lebih setahun pernikahan mereka utang ratusan juta itu belum juga dapat ambemu lunasi. Ia jadi sering marah. Memukuli dan mengumpati indomu. Kau sial malam itu, Runduma. Dari gendongan indomu kau terpental setelah ambemu tak lagi meredam amarahnya sehingga ia melompat dan mendorong indomu hingga tersungkur. Indomu meringis. Kepalamu mendabik keras lantai tongkonan. Sesaat hening. Kemudian suasana keruh. Rusuh. Ambemu kalap. Gelagapan. Indomu merasukkan tubuhmu ke gendongannya.
”Saya merasa napasku berat malam itu. Lalu tersengal-sengal,” katamu, dan kau semakin rapat dalam pelukanku.
”Kau ingat semuanya?” tanyaku penasaran.
”Tidak semua, tapi beberapa kejadian di jelang kematianku masih kuingat meski agak samar,” jelasmu.
Ambemu panik. Indomu jangan ditanya lagi. Ia kehilangan daya ketika melihat tangannya yang menadah kepalamu memerah darah. Di gendongannya kau dibawa lari ke muka tongkonan, ia berteriak.


4 comments: